Quarter Life Crisis, Galau Khas Manusia 20-an
"Pergilah sedih, pergilah resah, jauhkanlah aku dari salah prasangka. Pergilah gundah, jauhkan resah. Lihat segalanya, lebih dekat, dan kubisa menilai lebih bijaksana."
Sherina- Lihatlah Lebih Dekat
*Peringatan sebelumnya: tulisan ini agaknya akan aku buat sangat panjang, jadi persiapkan diri untuk bosan sedikit, atau banyak.
Bertemu kembali dalam sesi curhatan hidupku. Tidak bisa dituangkan ke manapun kecuali di
sini. Tidak wajib dibaca bagi orang lain, namun masih boleh jika ternyata ada pelajaran
hidup yang bisa diambil. Namun, tulisan ini tentu saja wajib dibaca untuk diriku di masa
depan. "Hallo, kamu pernah menjadi pribadi yang sedemikan menyiksa diri sendiri. Apakah
kamu sudah bahagia sekarang?"
Bicara mengenai bahagia. Sebenarnya bergantung dari siapa kita menganut arti kebahagiaan
ini. Ada banyak motivator yang membuatnya begitu penting dikejar dan dimaknai, pun
motivator yang membuat seolah kebahagiaan ini bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan.
Pada saat itu, bahagia bagiku adalah mendapatkan apa yang selama ini
aku inginkan. Jalan-jalan, konser idola, makanan, dan semua harta benda.
Untuk itu, tujuan itu, tentu saja aku wajib bekerja keras.
Mencari pekerjaan ideal bagiku menjalani hidup yang sedemikian kuidamkan.
Sampai pada suatu titik, aku sangat tersiksa, meski lebih tepatnya
menyiksa diri sendiri. Aku mungkin tidak memiliki kapasitas menerima
semua tekanan itu, namun tentu saja aku yang egois akan terus memaksa untuk bisa.
Namun, pada suatu magrib, usai salat di bulan Ramadhan. Aku membuka Al Quran. Tidak
mencoba menjadi pribadi yang religius, aku coba-coba saja siapa tahu Tuhan masih mau
menyapaku kembali setelah setahun dan beberapa tahun belakangan aku agaknya cukup bodo
amat dengan keberadaan-Nya.
QS Ar Ra'd: 28--29 menyentuh hatiku yang paling dalam malam itu. Aku merasa dipeluk, aku
merasa seseorang sebenarnya selalu ada untukku, namun seperti biasa aku memilih abai.
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat kebahagiaan dan
tempat kembali yang baik."
Aku memutuskan berhenti dari pekerjaan super melelahkan di awal tahun 2019 ini. Bulan
Maret kala itu, saat ratusan kalimat motivasi tidak berhasil mencegahku mencetak surat
pengunduran diri.
Malam itu aku pulang ke rumah, tidur bersama ibuk dan berkeluh kesah. Beliau bilang tidak
pernah mempermasalahkan anaknya yang ingin menjadi pengangguran. Ah... aku memang selalu
menyombongkan diri tidak pernah menganggur. Ini, keluhan ini yang agaknya selalu membuat
teman lain benci luar biasa kepadaku. Aku makhluk yang tidak pernah bersyukur kata
mereka.
Sampai di pagi esoknya, ibuk lagi-lagi mengulangi kalimatnya, untuk tidak masalah bagiku
jika ingin beristirahat. Jika ingin tak berkegiatan usai menyelesaikan kuliah dan
beberapa kerjaan sampingan. Jika tidak ingin memikul tekanan kerjaan yang luar biasa,
setidaknya bagiku. Orang lain tentu saja tidak sama.
----Manusia memiliki kemampuan sendiri-sendiri dalam memikul suatu beban. Ini yang selalu
aku ingat. Untukku tidak pernah boleh menilai orang lain memiliki masalah lebih ringan
dariku. Untuk tidak menilai kehidupan orang lain lebih enak dariku. Untuk tidak perlu
memandang kesusahan orang lain sebagai suatu cara bersyukur. Bersyukur bisa dilakukan
dengan apapun, tanpa melukai perasaan orang, tanpa membuat mereka jadi tidak bisa melepas
sejenak keluh kesah hidupnya.
Sepanjang perjalanan otakku sama sekali tidak berhenti berpikir. Tepat setelah kubuka
pintu kosan saat itu, tekadku semakin bulat. Aku membuka berkas surat pengunduran diri
yang sudah lama kubuat dan akhirnya mencetaknya.
Dengan percaya diri aku masuk ruangan kerja dengan menenteng sebuah map cokelat, yang
tentu saja mengundang pertanyaan rekan kerja lain. Aku akhirnya memutuskan mengundurkan
diri. Sebuah pekerjaan mapan dengan gaji yang lumayan kulepas. Demi apa? Tentu saja kala
itu demi kebahagiaan, demi tidur yang nyenyak, demi ratusan rencana jalan-jalan, dan juga
sebuah janji lama untuk menemani Ibuk menemui teman kuliahnya di Jogja. Aku sangat merasa
bersalah usai begitu mengenal Jogja dan sama sekali tidak memercikkan keakraban itu untuk
Ibuk juga.
Jadi begitu, life crisis. Apakah sebenarnya aku mengalami life crisis juga, toh aku sudah
ada pekerjaan meski sekarang memilih menganggur? Tentu, tapi aku sebenarnya masih terus
dan terus mencari tujuan hidupku.Nilai hidupku berubah seiring waktu, tujuan hidupku
berubah seiring waktu. Apa bahagia bagiku juga berubah seiring matahari terbit dan
tenggelam.
Bagiku bahagia memang masih terus harus kucari, namun lebih dari itu, bahagia juga tentu
harus kubuat sendiri. Apakah dengan bekerja, apakah dengan belajar, apakah dengan
menemukan pendamping hidup dengan menikah.
Aku yang sekarang masih merasa sedemikian gamang. Apakah jalan yang kupilih ini benar
untukku, apakah nilai yang kupegang ini memang sesungguhnya berasal dari pikiranku
sendiri, apakah semua bisa kuatasi sendiri? Saat semua campur aduk pikiran itu memenuhi
tiap sudut otakku, satu yang kuyakini, aku hanya harus tarik napas dalam dan
menghembuskan semua beban yang kupikirkan.
Kuyakini, aku pasti akan baik-baik saja.
Jika aku merasa tidak baik-baik saja, itupun tidak masalah.
Sampai saat ini hubunganku dengan teman-teman kantor amat baik.
Mereka menjadi teman-teman berkeluh kesah yang paling mengerti.
Kita pernah dan beberapa masih mengalami resah yang sama.
Tiap berkumpul, masalah dari kantor menjadi bahasan utama yang kita bicarakan.
Tidak masalah, karena dengan aku dan beberapa 'alumni' kantor lain, mereka bisa berkeluh kesah tanpa dinilai.
Kumantapkan diriku agar selalu ada untuk mereka berkeluh kesah, tanpa takut dinilai. Beban kalian pantas dilepaskan, teman-teman, tanpa ada rasa takut dianggap tidak bersyukur.
Komentar
Posting Komentar