Aku Melahirkan, Menjadi Ibu, dan Bersedih Sepanjang Waktu


Tidak, aku tidak sakit jiwa. Tapi nampaknya menjadi ibu memang penuh kesedihan. Gak usah menilaiku sebagai ibu yang kurang bersyukur. Aku tentu bahagia, tapi tak seberapa. 

Menjadi ibu baru sungguh melelahkan. Awalnya kamu akan sangat bahagia bisa melahirkan bayi imut mungil lucu menggemaskan cantik dan apapun itu. Namun, belum sampai genap 24 jam kamu akan dihadapkan dengan perasaan-perasaan sulit yang kamu sendiri mungkin tak tahu datangnya darimana. 

Aku adalah anak tunggal, tak pernah merasa amat bergantung pada orangtua. Jadilah begitupun aku saat usai melahirkan. Ditunggui ibu mertua dengan penuh kasih sayang kepada cucunya. hehe. Pada saat itu kukira aku bisa menggantungkan diri kepada suami, namun sulit adanya. Aku sangat membutuhkan ibuku kala itu. Persis seperti bayi yang baru saja kulahirkan. Sangat membutuhkan ibunya. 

Ya Tuhan, momen ini sudah hampir dua tahun berlalu, tapi sekarangpun aku masih menuliskannya dengan menangis. Diriku ini sepertinya memang sungguh tersakiti. Entah sikap apa yang harus kulakukan untuk melupakan semuanya. 

Hari-hari berjalan begitu menyakitkan. Entah apa yang melukai jiwaku tapi aku amat sangat tidak senang menjadi ibu. Badanku sakit, anak terus menempel, orangtua tidak bisa diajak kompromi, suami yang juga masih belajar menjadi bapak, dan terlebih mertua yang terasa lebih 'perhatian'. 

Banyak malam kulalui dengan menangis. Dengan mastitis, dengan pusing kepala, dengan demam, dan dengan lecet puting. Suamiku mungkin bisa melihat jelas keadaan itu, betapa tidak bahagia istrinya. Namun dia bisa berbuat apa, sih?

Aku merasa tak mendapat cukup banyak dukungan sebagai ibu. Semua orang tentu saja sibuk fokus sekuat tenaga kepada sang bayi. Apakah ia menangis karena kurang ASI? Apakah ia menangis karena aku tak memproduksi cukup banyak ASI? Apakah aku becus menjadi ibunya? Semua sibuk menilaiku. Aku tentu saja semakin ingin mengubur diri hidup-hidup. 

Di saat itu, satu-satunya cara yang sangat kuinginkan adalah salat, namun apa daya aku nifas. Berdoa saja rasanya tak pernah cukup bagiku. Aku butuh dipeluk Allah dalam salat, aku sudah kehilangan cara lain untuk waras. 

Aku hampir berputus asa, tentu saja hari-hari di saat aku merasa ingin mati bahkan masih terus datang sampai saat ini. Namun, aku akhirnya menemukan 'ibuku'. Seorang dukun pijat, tetangga belakang rumah yang memijatku sekaligus menyembuhkan jiwaku. Membuatnya yang sudah diambang batas fana, kembali menyentuh tanah. 

"Sampeyan kesel iki mesti yo? Deloken tho kaku kabeh iki. Ancene nyusoni kuwi yo abot, mangkane rapopo sekali-sekali yo istirahat, pijet ngene iki. Rapopo." 

("Kamu pasti capek ya ini? Coba lihat semua tubuhnya kaku. Memang menyusui itu berat, mengkanya gapapa sekali-kali istirahat, dipijet seperti ini. Gapapa")

Begitu kurang lebih katanya yang sampai saat ini selalu kuingat. Begitu mendamaikan. Saat semua orang fokus pada bayiku, ada satu orang yang akhirnya melihatku sebagai seorang yang baru lahir juga. Seseorang yang semua badannya sakit juga, seorang yang butuh perhatian juga.

Aku persetan apakah itu memang teknik marketingnya, jelas yang penting aku terhibur, aku tenang, aku merasa dihargai. Aku sangat suka ibu dukun pijat itu. Dia menyembuhkan sakit badanku, juga sakit jiwaku. 

Belum lagi kuceritakan ribuan trauma yang harus kupikul pasca melahirkan. Rasanya tidak habis aku merasa sedih sepanjang waktu. Melahirkan sungguh melelahkan, namun satu momen bahagiaku adalah saat aku tenang jiwa dan sedang bersama anakku yang lucu. Berdua saja lho, tanpa ada mata lain yang menilai ini dan itu. 

Ibuk sayang kamu, nak. Semoga kelak sebagai perempuan, kamu mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan yang melimpah usai melahirkan anakmu. Ibuk hendak pastikan itu. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Job Seeker's Life: 1

Main ke Korea Festival di Surabaya

Hotel Capsule di Malang: One Day Trip Series